Jumat, 08 Juni 2018

Mendaki Rumah Gn. Merapi


Hari akan hilang gelap. aku sampai di pos 1
setelah lelah menelan angin malam.
mata menahan kantuk
tapi kaki ini masih berjalan menuju Pesanggrahan.

Kaki Singgalang, tampak jelas dari sini.
luas dan tumbuh liar rumah-rumah.
pendaki lain bermain ayunan,
sarapan, bernyanyi,
menggerutu,
lelah, minum,
menguap, diam,
tidur,
sendiri.

Tenggorokan kering,
dingin perlahan-lahan masuk ke dalam tubuh.
air di Sumur Kodok meluap dengan desar. kuteguk.

Pohon-pohon tinggi menjulang
mulai menjadi pemandangan,
berlumut dan bercabang panjang.
suara monyet yang berteriak memekak telinga.
dan sekali babi hutan melintas.

Perut telah berbunyi setelah melintasi jalur
yang penuh dengan akar-akar besar.
sesekali bapak-bapak dan ibu-ibu yang berhenti,
menyapa dan berjalan kembali.
mereka bergurau,
bernyanyi dan berlari mengejar puncak,
sebelum hilang ditelan senja nanti.

Tapi aku lelah berjalan,
menapak tanah-tanah yang curam.
di Paninjauan,
kuhidupkan kayu bakar,
kubentang matras,
keluarkan kompor dari carrier,
memasak, bernapas perlahan.

Lalu, angin dan kabut yang turun
entah dari mana, mungkin puncak.
hujan turun perlahan, jaketku basah.

Perjalanan dilanjutkan dengan kuyup.
jalan mulai licin,

mata yang lelah terjaga,
masih menatap ke arah puncak yang tertutup kabut.

Air telah habis.
jalan mulai berbatu dan semakin curam,
ah, terjal. Pintu Angin telah di depan mata.
aku telah begitu tinggi,
Singgalang dan Tandikek yang gagah di depan sana,
masih terdiam dan mempesona
dengan awan-awan tersangkut di puncaknya.

Orang-orang berhenti,
tetapi kaki ini masih berjalan.
Menuju Cadas,
harus sampai Cadas.

Batu-batu semakin banyak
dengan lumut-lumut yang bersemayam
di permukaannya.

Cadas tampak begitu ramai di atas sana,
tenda-tenda tumbuh dengan liar.

Semakin dekat dengan Puncak!
semakin dekat dengan Puncak!
semakin dekat dengan awan
Singgalang dan Tandikek semakin jelas
Tuhan, kota, laut,
rumah-rumah,
dan lembah-lembah semakin jelas.

Tugu Abel Tasman yang merah
di penuhi orang-orang.
aku mendekatinya.
kabut datang.

Aku berlari ke Lapangan Setan,
tenda-tenda berjamur.
orang-orang meminum kopi
dan mengajakku masuk.
tapi, aku harus mengejar senja,
mengejar puncak.

Tinggal beberapa langkah,
sebentar lagi pukul 18.25 WIB,
senja sedang purna.
aku harus berlari,
sebelum matahari jingga itu karam
ditelan 2 gunung megah di depan sana.

Dingin, hujan datang,
dan semuanya menjadi begitu gelap.
aku tak mendapat senja,
aku mendapat rumah.
aku mendapat rumah,
taman Edelweis mekar.

Sebelum mencapai puncak Marapi-2018

Karya : Muhammad de Putra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar