Ketika KPU setiap hari mempertontonkan sesuatu yang justru memuakkan bagi masyarakat, masyarakat sebenarnya tidak tinggal diam. Masyarakat punya logikanya sendiri. Pilkada DKI beberapa waktu yang lalu membuktikan itu. Semua survey berpihak ke patahana, sebahagian besar partai berpihak ke patahana, sebahagian besar media utama berpihak ke patahana, sebahagian besar naga berpihak ke patahana, penguasa diatasnya, berpihak ke patahana. Tapi masyarakat beda, sebahagian besar masyarakat berpihak kepada pasangan Anies-Sandi. Masyarakat merasa cemas terhadap gubernur patahana yang setiap hari marah-marah terhadap siapa saja. Masyarakat merasa terancam, kalau-kalau hari ini giliran tempat tinggal mereka yang diratakan dengan tanah. Masyarakat merasa pendapatannya semakin menurun akibat proyek reklamasi ketika itu sedang aktif-aktifnya. Seluruh akumulasi kekecewaan masyarakat Jakarta tersebut menjadi daya dorong yang dahsyat untuk menjebol keperkasaan gubernur patahana dari kursi singgah sananya. Dan terbukti sangat efektif. Kini, penyakit itu kambuh lagi. Banyak media online menilai, KPU sudah tidak netral lagi. KPU telah menjadi pemain, tidak sebagai wasit lagi. Secara sengaja KPU meniadakan visi dan misi capres dalam acara debat capres. Padahal itu amanat undang-undang dan keinginan kuat masyarakat. Secara sengaja KPU "membocorkan" bahan debat capres seminggu sebelum pelaksanaan. Pembocoran bahan-bahab debat capres, sebelum debat berlangsung, memiliki dampak jangka panjang bagi dunia pendidikan, sangat tidak baik dan sangat tidak mendidik. Anak-anak kita yang sedang belajar dibangku sekolah, didoktrin bahwa perbuatan menyontek merupakan tindakan kejahatan yang harus dijauhi. Bila ketahuan menyontek ketika ujian, langsung diberikan tindakan tegas. Ini sistem nilai yang berjalan selama ini. Doktrin ini akan bergeser bahkan sangat niscaya akan terhapus dalam tradisi dunia pendidikan kita kalau aturan-aturan debat capres yang akan dilaksanakan "menabrak" adat yang tumbuh dan berkembang didalam institusi pendidikan kita. Sangat mahal taruhannya bila ini dipaksakan juga. Dan yang lebih tragis lagi adalah tidak adanya penghargaan terhadap sosok presiden RI terpilih di mata masyarakat dikarenakan proses pilpres 2019 dipenuhi dengan cara-cara kerja yang berhadap-hadapan logika akal sehat masyarakat. Contoh sederhananya adalah diundangnya orang gila untuk coblos di pilpres 2019. Dan bila nanti telah selesai pilpres dan dimenangkan oleh salah satu paslon yang ada, dengan nada sambil bergurau, orang mengatakan, inilah presiden RI terpilih. Keterpilihannya bukan didasarkan pada asas jurdil, karena dimana adilnya, kalau orang yang berakal sehat dan orang gila diperlakukan sama persis. Padahal mereka jelas-jelas berbeda. Kalau orang berakal sehat, mencoblos atas dasar kesadaran dan penuh tanggung jawab. Tapi orang gila coblos, lalu mencoblos atas dasar apa ? Apakah mereka juga mencoblos atas dasar rasa tanggung jawab ? Padahal, agama Islam mengajarkan kepada kita, diangkat pena atas orang gila. Bila dilihat dari perspektif ajaran Islam, sah kah pilpres yang mengikutsertakan orang gila ikut mencoblos ?
Penulis : Muslih Pakiah Mudo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar