Pemilu 2014 yang lalu, sangat kental dengan nuansa politik uang. Tidak di kota, tidak di desa. Uang menjadi alat sandera, rakyat milih siapa. Ketika rakyat telah diberi uang, keputusannya telah bisa ditebak. Selama empat tahun berjalan, rakyat telah merasakan bagaimana aspirasi mereka telah disampaikan dan bagaimana kelanjutannya. Sesuai harapankah atau bagaimana. Begitu juga rakyat telah memilih presiden RI dan bagaimana rasa kepemimpinannya selama empat tahun berjalan. Sudah berapa persenkah janji-janji kampanyenya telah dipenuhi. Masih ada waktu beberapa bulan kedepan, setiap kita rakyat Indonesia untuk menilai, apakah perlu diperpanjang kontrak politik atau cukup disudahi saja hingga Rabu 17 April 2018. Itu adalah sesuatu yang rasional. Jangan dikait-kaitkan dengan mitos. Mendukung atau memilih siapa yang kita kehendaki, itu sangat privat sifatnya. Tapi kalau ada yang berusaha untuk membujuk, mengajak, memberikan pemahaman agar kita ikut pilihannya. Itu adalah hal yang wajar-wajar saja. Itu jugaklah kenapa ada masa kampanye untuk beberapa bulan. Untuk mengenal siapa dia. Apa ide-idenya untuk kemajuan dan kemakmuran serta keadilan bangsa. Bagaimana rekam jejaknya. Semuanya mestinya berjalan alami saja, tanpa tekanan dan tanpa ketakutan. Realitasnya, meski baru beberapa hari masa kampanye pileg dan pilpres 2019, sengatan itu sudah mulai terasa. Sudah ada calon legislatif dari PAN yang mati dibunuh. Sudah mulai muncul ujaran kebencian, mengolok-olok antar pendukung calon presiden. Sudah ada gubernur, walikota/ bupati yang terindikasi melanggar sumpah jabatan dengan menyalahgunakan kewenangan/ kekuasaan untuk mendukung salah satu calon presiden dan wakil presiden periode 2019 -2024. Padahal jauh-jauh hari sebelumnya Bawaslu telah mengingatkan bahwa itu tidak etis dilakukan. Tetapi tetap saja dilanggar tanpa ada rasa malu. Malu pada diri sendiri. Malu pada rakyatnya. Malu pada tuhan. Moralitas telah diperkosa sekehendak hawa nafsunya demi sebuah kemenangan. Bila demokrasi ditegakkan bukan pada ketaatan pada aturan main yang disepakati. Bila demokrasi ditegakkan bukan pada menjunjung nilsi-nilai sportifitas. Maka layakkah kita disebut sebagai negara demokrasi ke 3 di dunia ?
Penulis : Muslih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar