Kesan sikap tebang pilih dalam penegakkan hukum di negara ini tampak secara kasat mata. Kalau oposisi yang melakukan indikasi pelanggaran hukum, pihak penegak hukum secepat kilat melakukan pemeriksaan. Contoh kasus Ahmad Dani dan Habib Bahar. Tapi bila pihak koalisi pemerintah yang melakukan indikasi pelanggaran hukum, pihak penegak hukum santai-santai saja walau selalu disorot publik. Contoh kasus Bupati Boyolali, Seno Samodro yang dilaporkan ke Bareskrim Polri sejak tanggal 5 Nopember 2018, namun hingga hari ini belum jelas statusnya, yang terindikasi menghina capres No. 2. Kalau hukum bersentuhan dengan keluarga istana, banyak alasan sehingg hukum jalan ditempat. Kalau hukum menjerat bangsa pribumi, langsung dicekal. Tapi kalau hukum mengusik warga negara keturunan, terkesan dibiarkan sehingga lari ke luar negeri. Contoh, Chief Executive Officer (CEO) PT. Mahkota Sentosa Utama (PT. MSU) bernama He Hai Fei ketika akan diperiksa sebagai saksi dalam kasus suap perizinan proyek Meikarta. Perlakuan diskriminasi dalam penegakkan hukum akan berdampak luas. Bila hukum ditegakkan atas dasar suka dan tidak suka, maka nilai-nilai keadilan hanya akan menjadi angan-angan belaka. Tumbuh bibit-bibit dendam, benci dan ketidak percayaan rakyat kepada penegak hukum. Penegak hukum harusnya berlaku adil terhadap semua laporan yang masuk, tanpa melihat seseorang dari kaum bangsawankah atau dari rakyat jelata, dari kelompoknyakah atau dari kelompok lain yang selama ini sangat getol mengkiritisi. Ternyata perlakuan sama dihadapan hukum, sangat sulit dipraktekkan. Yang Kuasa pun menjanjikan kepada mereka yang berlaku adil antar sesama, kelak akan menempati posisi takwa. Posisi yang dirindukan semua.
Penulis : Muslih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar