Kamis, 21 Februari 2019

Opini SA'AT KALLA MULAI BICARA

BUKAN tipikal Jusuf Kalla kalau diam saat ada masalah, apalagi masalah bangsa. Kritis, berani, apa adanya, to the point, itulah ciri khasnya. Sejak lama selalu begitu. Tapi, saat menjadi Wakil Presiden Jokowi, entah mengapa Jusuf Kalla (JK) seperti mati gaya. Sedikit berperan dan irit bicara. Namanya pun sempat dipelesetkan menjadi, "kalah".

Padahal, saat menjadi Wakil Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada era 2004 hingga 2009, JK pernah disebut-sebut sebagai "the real presiden". Hal itu karena peran dan pengaruhnya, serta komentarnya lebih dominan dan menguasai publik ketimbang SBY. Tidak heran, ia pun tidak lagi dilirik SBY untuk Cawapres periode selanjutnya, 2009 - 2014. SBY lebih memilih sosok Prof Dr Boediono yang terkesan tunak dan pendiam.

Ada beberapa sepak terjang JK untuk bangsa ini yang tak mungkin kita lupakan. Dialah sosok penting dibalik perdamaian kasus Poso, Ambon, dan Aceh yang telah menelan banyak korban antaranak bangsa. Masalah besar yang dianggap rumit karena mengandung unsur SARA dan berlangsung cukup lama justru terasa biasa di tangan JK. Dunia internasional pun mengapresiasi kinerjanya, terutama dalam penyelesaian kasus GAM, Gerakan Aceh merdeka.

Setelah 29 tahun pemerintah Indonesia berkomplik dengan GAM yang merenggut hampir 15 ribu korban jiwa, akhirnya disudahi dengan perjanjian damai yang dicetuskan oleh JK--saat itu sebagai Wakil Presiden--yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005.

"Untuk menyelesaikan konflik", kata JK, "harus tahu siapa orangnya, apa maunya dan siapa pemimpin utamanya". Jika konflik yang terjadi adalah konflik vertikal, maka penyelesaiannya melalui rekonsiliasi dan bentuk pemberian amnesti dan rehabilitasi. Jangan lupa, jaga harga diri lawan. "Orang berperang karena dignity," kata JK seperti dikutip situs antaranews.com (Ahad, 8 April 2007).

Satu lagi gebrakan JK yang membuat orang terperangah, yaitu tentang toleransi kehidupan beragama. Dihadapan 700 pendeta di Makassar (2013) ia menjawab pertanyaan tentang pembangunan GKI Yasmin Bogor yang dianggap bermasalah saat itu. JK dengan tegas menjawab, "Anda ini sudah punya 56.000 gereja seluruh Indonesia tidak ada masalah, seharusnya berterima kasih, pertumbuhan jumlah gereja lebih besar daripada masjid, kenapa urusan satu gereja ini anda sampai bicara ke seluruh dunia?”

JK pun mengingatkan, “Toleransi itu kedua belah pihak, anda juga harus toleran. Apa salahnya pembangunan dipindah lokasi sedikit saja, Tuhan tidak masalah kamu mau doa di mana. Izin Membangun gereja bukan urusan Tuhan, tapi urusan Walikota".

Ketika ia kembali ditanya tentang persoalan kantor-kantor pemerintahan mengapa mesti ada masjid. Dengan tegas JK menjawab: “Justru ini dalam rangka menghormati anda. Jumat kan tidak libur, anda libur hari Minggu untuk kebaktian. Anda bisa kebaktian dengan 5 kali shift, ibadah Jum’at cuma sekali. Kalau anda tidak suka ada masjid di kantor, apa anda mau hari liburnya ditukar; Jum’at libur, Minggu kerja. Pahami ini sebagai penghormatan umat Islam terhadap umat Kristen".

Begitulah JK. Sosok tegas dan cerdas yang sempat kita kenal. Maka, banyak pihak heran bagaimana bisa di era Jokowi, JK menjadi pendiam dan puasa bicara untuk berkomentar tentang persoalan bangsa yang datang silih berganti? Apakah ada hubungannya dengan beban moral ucapannya sebelum menjadi Wakil Presiden Jokowi, bahwa jika Jokowi memimpin bangsa ini maka bangsa ini bisa hancur? Entahlah.

Namun, ✍️ (bersambung)...

Penulis : Lidus Yardi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar