Kita hidup tidak bisa lepas dari namanya prasangka. Prasangka seringkali mempengaruhi sikap dan tindakan kita. Sikap yang baik tidak mungkin dimulai dari prasangka yang buruk. Begitu sebaliknya.
Allah Ta'ala menyebut kebanyakan prasangka itu adalah dosa. Artinya, sebagian dari prasangka boleh dan bukanlah suatu dosa.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, karena sebagian dari prasangka itu adalah dosa.” (QS Al-Hujurat: 12).
Berprasangka baik itu memang lebih utama, terutama kepada orang yang dikenal baik perangainya. Sebab, kebaikannya selama ini cukup menjadi alasan untuk berprasangka baik kepadanya.
Sedangkan, berprasangka buruk itu boleh kepada orang yg dikenal buruk perangainya, apalagi kepada orang munafik atau kafir. Disamping sebagai sikap kehati-hatian--terutama dalam urusan agama--keburukannya selama ini cukup menjadi alasan untuk berprasangka buruk kepadanya. Jadi, hal itu lumrah dan bukan perkara dosa.
Berprasangka buruk kepada orang lain akan menjadi dosa, siapa pun orang itu, saat prasangka itu diucapkan dan bertahta lama di hati. Karena prasangka itu tidak atau belum terbukti, tapi masih saja dipendam di hati.
إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَمْ تَعْمَلْ أَوْ تَتَكَلَّمْ
“Sesungguhnya Allah memaafkan umatku dari apa yang dibicarakan oleh hatinya, selama dia tidak melakukan atau mengucapkan dengan lisannya” (HR Al Bukhari).
Namun, apa pun kondisinya, siapa orangnya, berhak mendapat prasangka baik dari kita. Sebab, mencari alasan yang baik dari kekurangan, bahkan kesalahan orang lain, itu lebih utama dilakukan.
Dalam hal ini, setan begitu lihai memainkan peran. Berprasangka buruk kepada orang baik justru lebih enak dilakukan. Lebih heboh untuk dipergunjingkan, meski belum tau kebenaran.
Maka, jangan heran, jika terdengar orang yang dikenal baik melakukan kesalahan, itu lebih cepat tersebar. Padahal, justru ini yang harus dipendam. Karena ini masalah kehormatan, dan baru sebatas prasangkaan.
أَقِيلُوا ذَوِي الْهَيْئَاتِ زَلَّاتِهِمْ
“Maafkanlah ketergelinciran orang-orang yang baik” (HR. Ibnu Hibban).
Ingat, tidaklah fitnah tersebar, kecurigaan terjadi, silaturahmi putus, hati antara kaum muslimin dengan lainnya menjauh, kecuali salah satu penyebabnya, karena kebohongan yang tersebar. Dan itu bermula dari prasangkaan buruk yang diucapkan.
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ
“Jauhilah oleh kalian prasangkaan, karena prasangkaan itu adalah ucapan yang paling dusta.” (HR Muttafaq ‘alaih).
Namun, ada satu prasangka yang tak bisa ditawar. Karena baik buruk prasangka akan kembali kepada diri kita. Jika tidak ingin keburukan terjadi, tentu pilihannya berprasangka baik, yaitu kepada Allah Subhaana Wa Ta'ala.
لَا يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلَّا وَهُوَ يُحْسِنُ بِاللهِ الظَّنَّ
"Jangan sampai kalian mati kecuali dalam keadaan berprasangka baik kepada Allah. (HR. Muslim).
أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِى بِى ، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِى
Allah berfirman, ‘Aku menurut prasangkaan hamba-Ku kepada-Ku dan Aku bersamanya ketika dia mengingat-Ku’ (HR. Bukhari).
Prasangka, seringkali mempengaruhi sikap dan tindakan kita. Berprasangka baik adalah pilihan utama yang dapat kita lakukan, untuk kehidupan kita yang lebih damai dan indah.
Wallahu A'lam
28 Ramadhan 1439 H
Penulis : Lidus Yardi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar