"Kacang" pilihan kata yang tepat dan monumental. Semua orang Kacang rantau maupun tempatan silih berganti untuk bercerita, bernostalgia, bersenda gurau, berempati, bersandiwara, berpolemik, berbagi kasih, tebar pesona, marah, bahkan berpolitik sekalipun. "Kacang" telah menjadi komoditas sosial, budaya dan politik. "Kacang" menjadi titik temu para budayawan, birokrat, politisi, bahkan rakyat jelata untuk berebut simpatik. Dalam diakektika, ada yang dipaksa, terpaksa, abu-abu dan tulus ikhlas terlibat didalamnya. Awalnya ada rasa diserang, melawan, bertahan, diam, masa bodoh. Dan pada akhirnya ada yang merasa sebagai pahlawan kepagian, pahlawan kesiangan, pahlawan kesorean dan ada yang disebut sebagai pecundang. Muncullah kemudian tipologi sebagai yang dipuji, dibenci, diharap, dihormati, disayangi, dikasihani, dimusuhi. Semuanya mengatasnamakan kesadaran cinto dek kampung. Dari kesadaran tersebut berawal sebuah proses pendidikan. Disana setiap kata diuji kebenarannya, setiap sikap diuji kekonsistensinya dan setiap janji diuji kepatuhan atas janjinya. Sebuah karakterter/tabi'at merupakan kebiasaan baik yang secara terus menerus diuji oleh waktu dan tempat. Tidak bisa sebuah gelar hanya mempertimbangkan apa yang didepan mata saja, pasti melibatkan rekam jejak sebelumnya. Itulah sunnatullah yang pasti berlaku untuk semua makhluk-Nya. Jangan terlarut dalam kesedihan berketerusan, hanya kita disebut sebagai pencitraan dan lebay. Anggap saja itu sebagai alat pendewasaan diri dan cermin, benarkah ? Yakinlah, begitu banyak dari mereka didalam group ini kita anggap sebagai pengintip, pengamat, pendiam, cuek, ternyata mereka menilai, mereka berfikir dan mereka juga merasakan apa yang kita katakan, hanya caranya saja yang berbeda dengan kita dalam merespon setiap ujaran yang kita sampaikan. Bisa jadi, waktunya kurang tepat, bisa jadi hal teknis semata yang membuat dia begitu. Kadang-kadang kita hanya menebak-nebak, padahal itu jauh dari hal yang sebenarnya. Kebiasaan berfikir konspiratif, membuat kita jauh dari kebenaran itu sendiri. Membuat kita resah dengan diri kita, membuat kita tidak bisa bersahabat dengan hati nurani kita sendiri. Ada tekanan batin yang begitu dahsyat mengguncang kepribadian kita. Dikernakan kesalahan cara berfikir kita. Rubahlah cara berfikir kita degan pendidikan. Selama niat kita untuk terus memperbaiki diri walau hanya berWA-WA- an doang, namun itu sebenarnya kita lagi sedang mendidik diri sendiri untuk berkata jujur dan berkata benar dan itulah cara yang terbaik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar