Tatkala ditimpa musibah, sering kita bertanya, “Mengapa ini terjadi pada diri saya? Apa dosa saya ya Allah?” Ya, kita lupa dengan dosa yang kita lakukan. Sehingga kita bertanya kepada Allah atau diri sendiri, apa dosa yang telah dilakukan yang menyebabkan musibah terjadi.
Hal ini menjadi bukti, bahwa kita tidak peduli dengan dosa dan boleh jadi menganggap remeh suatu dosa. Sehingga kita merasa tidak perlu mengingatnya atau karena banyaknya dosa kita lupa dosa yang mana yang harus diingat.
Namun, mengaitkan musibah yang terjadi dengan dosa yang dilakukan, meski lupa dosa yang mana, sudah merupakan perkara luar biasa bagi seorang hamba. Paling tidak itu menunjukkan kesadaran dan kepekaan diri, bahwa musibah yang terjadi memang berkaitan dengan dosa. Itu bentuk muhasabah diri yang harus dilakukan oleh setiap insan beriman.
Sebab itu, tatkala bencana terjadi di suatu tempat, lalu ada pihak mencari keburukan yang dilakukan di tempat itu, tidaklah terlalu salah. Karena memang hampir seluruh kisah di dalam Alquran, di mana suatu kaum dihancurkan oleh Allah dengan berbagai bencana selalu berkaitan dengan dosa yang mereka lakukan.
Dosalah yang menyebabkan kaum Nabi Nuh AS di azab dengan banjir besar yang bahkan menutupi gunung-gunung. Dosalah yang mengundang datangnya suara menggelegar kepada kaum Tsamud yang memotong jantung-jantung mereka. Dosalah yang menyebabkan negeri kaum nabi Luth AS dibalikkan oleh Allah. Dosalah yang menyebabkan Fir’un dan kaumnnya ditenggelamkan ke dalam lautan. Dosalah yang menyebabkan datangnya awan api yang menghujami kaum Syu’aib.
Allah Ta’ala telah mengingatkan, apapun musibah berupa kerusakan yang terjadi di darat dan di lautan adalah disebabkan oleh ulah tangan manusia, yakni kemaksiatan dan dosa-dosa yang dilakukannya (lihat QS Ar-rum: 41). Ali bin Abi Tholib RA pernah berkata, “Tidaklah musibah itu turun kecuali akibat dosa. Dan tidaklah ia bisa diangkat kecuali dengan taubat nashuha” (Al-Jawabul Kaafi, hal. 87).
Dalam ayat yang lain Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan apapun musibah yang menimpamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri (dosa), dan Allah memaafkan sebagian besar dari kesalahan-kesalahanmu” (QS Asy-Syura: 30).
Maka sungguh ironi, ketika musibah datang justru merasa tidak berdosa. Menganggap musibah yang terjadi hanya karena alam lagi murka dan tidak bersahabat dengan kita. Bahkan ada dari kalangan Islam liberal meyakini, bahwa musibah yang terjadi tidak ada kaitannya dengan kemaksiatan dan dosa. Ulil Abshar Abdalla pernah berkicau: “Jika benar Tuhan mengazab Sodom karena LGBT, kenapa Dia tak mengazab negeri-negeri yang menolerir LGBT sekarang? Kenapa?”
Kita layak berkaca, kepada para ulama (salaf) terdahulu bagaimana mereka memandang dan menyikapi musibah. Mereka tidak saja menyadari dan mengaitkan setiap musibah yang terjadi atas diri mereka dengan dosa, tapi juga ingat dosa apa yang telah mereka lakukan. Sensitivitas atau kepekaan mereka terhadap perbuatan dosa sungguh luar biasa. Mereka adalah teladan kita dalam menyikapi musibah.
Dikisahkan, seorang tabi’in, Muhammad ibn Sirin pernah dipenjara karena belum mampu membayar utang. Menyikapi musibah yang terjadi pada dirinya ia berkata, “Ini adalah cobaan yang ditimpakan kepadaku akibat dosa yang pernah aku lakukan 30 tahun yang lalu”. Dosa yang dilakukannya adalah mengatakan kepada orang fakir yang ditemuinya, “Hai orang yang bangkrut!”
Imam Sufyan ats Tsauri pernah berkata, “Aku pernah terhalang melakukan sholat malam selama lima bulan karena satu dosa yang aku lakukan”. Lalu ada yang bertanya kepadanya, “Dosa apakah itu?” Ia menjawab, “Aku melihat seorang laki-laki menangis, lalu aku berbisik di dalam hatiku, ‘Orang ini riya’!”
Juga terkenal ungkapan dari kalangan salaf, “Tidaklah aku lihat perubahan buruk atas perangai istriku dan liarnya binatang ternakku, kecuali aku ingat dosa yang pernah aku kerjakan 40 tahun yang lalu”.
Begitulah sensitivitas para ulama rabbani dahulu menyikapi musibah. Mereka tidak saja ingat dosa, tapi juga ingat dosa apa yang pernah mereka lakukan. Lalu bagaimana dengan kondisi kita?
Wallahu A’lam
Penulis : Lidus Yardi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar