Sebutan Genderuwo dan sontoloyo keluar dari mulut sang Presiden RI periode 2014 - 2019. Stigma tersebut beliau tujukan kepada sosok politikus yang berseberangan dengan harapan beliau. Dan sebutan itu, muncul ketika beliau positif sebagai capres untuk pilpres 2019. Sangat sulit bagi masyarakat awam untuk memahami, apakah sebutan tersebut, beliau ucapkan ketika kapasitas sebagai Presiden RI dan kepala negara atau kapasitas beliau sebagai capres. Keluhan yang sama pernah dilontarkan oleh Presiden K.H. Abdurrahman Wahid. Gusdur ketika itu menyebut kalau perilaku anggota DPR itu, disamakan dengan perilaku anak-anak TK. Namun ketika itu, karena Gusdur sebagai Presiden RI sehingga publik memahami dalam konteks positif. Lain halnya dengan kondisi ketika Jokowi dalam status ganda. Sehingga ucapan Jokowi tersebut rentan mendapatkan respon penolakan dari rival politiknya. Karena anggapan dari lawan politiknya, sebutan tersebut ditujukan kepada kelompoknya. Bertujuan untuk merontokkan tingkat kepopuleran capres yang diusungnya. Ini jelas, cara-cara yang tidak mendidik dalam mendewasakan anak bangsa dalam berdemokrasi yang berkualitas. Diperlukan regulasi yang jelas perihal calon patahana agar tidak terjadi konflik kepentingan. Bila terindikasi benar bahwa sebutan politikus genderuwo dan politikus sontoloyo diarahkan kepada pihak oposisi yang notabene adalah rival beliau di pilpres 2019 dengan menggunakan simbol-simbol negara seperti Presiden RI dan Kepala Negara, ini berarti telah terjadi penyelewengan kewenangan. Dan bila penyebutan tersebut atas nama capres, maka ini pertanda iklim pesta demokrasi kita berada dibawah standar alias buruk. Diskursus kompanye tidak lagi beradu ide/ gagasan dan program tapi terindikasi mengarah ke pembunuhan karakter seseorang. Dan menumbuhkan benih-benih kebencian kepada sesama anak bangsa. Sungguh ini bukan mencerdaskan, tapi ini tipu muslihat. Tetapi bukankah berpolitik itu berarti juga tipu muslihat ?
Penulis : Muslih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar