Selasa, 20 November 2018

JANGAN TERGESA-GESA DALAM MENYIKAPI PERBEDAAN

Salah satu sifat buruk manusia yang disebutkan Allah Ta'ala di dalam Alquran adalah tergesa-tergesa.

وَكَانَ ٱلْإِنسَٰنُ عَجُولًا

Artinya, "Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa" (QS Al Israa: 11).

Sifat tergesa-tergesa itu disebutkan Allah dalam Alquran tentu dengan tujuan agar manusia tahu, waspada, dan tidak melakukannya. Karena ketergesaan itu kata Rasulullah dari setan, sedangkan sikap bertenang itu dari Allah (HR Baihaqi).

Salah satu ketergesaan manusia itu adalah dalam menyikapi saudaranya. Tidak jarang di tengah umat Islam dengan mudahnya muncul takfir (mengkafirkan), tafsiq (memfasiqkan), tabdi' (membid'ahkan), tadhlil (menyesatkan) dan melaknat untuk keburukan saudaranya.

Padahal, sikap ketergesaan itu tidak membawa kebaikan apapun. Ketergesaan itu membuat banyak manusia pada akhirnya menyesal, malu, dan rugi dgn sikapnya sendiri. Sebab itu Rasulullah mengingatkan, "Seorang hamba akan senantiasa dalam kebaikan selama ia tidak tergesa-tergesa" (HR Ahmad).

Tidak heran, para ulama kita begitu sangat berhati-hati bersikap apalagi berbicara, berijtihad, dan menjawab persoalan yang menyangkut agama apalagi hukum di dalam agama. Setelah menjawab persoalan pun mereka selalu mengakui keterbatasan ilmu mereka, sebagai sikap tawadhu mereka, dengan mengatakan wallahu a'lam.

Memang untuk menyimpulkan suatu persoalan, apalagi menyikapi perbedaan dari suatu persoalan tidaklah mudah, butuh kehati-hatian dan sikap bijak yang ekstra. Apalagi berkaitan dgn persoalan kontemporer umat yang tidak ada perintahnya, tidak ada larangannya, dan belum datang penjelasan hukumnya.

Jika sudah demikian, tentu ada ruang perbedaan pendapat dikalangan ulama yang akan muncul. Dalam persoalan tertentu yang jelas ada dalilnya saja, ulama masih berbeda pendapat, apalagi persoalan kontemporer yang belum datang penjelasannya.

Jadi, kalau tidak ada dalil atau contohnya dari Rasulullah suatu amalan, tidak bisa dihukumi langsung buruk amalan tersebut. Karena perbedaan pendapat ulama terjadi, justru karena tidak adanya contoh dan tidak adanya dalil yang jelas tentang amalan tersebut.

Saat kita menyadari realitas, bahwa para ulama pun berbeda pendapat dalam menyikapi suatu persoalan, di sini kita harus berhati-hati dan berlapang dada dengan perbedaan. Jangan tergesa-tergesa menyikapi dan menghukumi buruk suatu keadaan yang berlainan.

Karena memang para ulama tidak melihat satu sisi suatu persoalan, banyak catatan dari satu persoalan sebelum menyimpulkan hukum persoalan itu. Tidak heran misalnya, hukum nikah yang jelas-jelas sunnah Nabi saja, (tapi) dari hukum asal nikah yang mubah (boleh) bisa saja hukumnya kemudian berubah menjadi haram, wajib, atau makruh. Tentu dengan catatan atau ketentuan tersendiri dari hukum-hukum tersebut.

Jika kita menyadari ini, inilah yang membuat kita lebih bijak menyikapi perbedaan, apalagi perbedaan dikalangan ulama. Dengan demikian, maka kita tidak perlu lagi seharusnya mendengar sebutan, seperti, "Ustadz subhat", "Ustadz ahli bid'ah", "Ustadz pojok kanan bagian atas". La haula wala kuwwata illa billah...😪

Kemudian lapak pengajian satu lagi pun berkomentar, "Ustadz talafi", "Ustadz wahabi" "Ustadz radikal", atau "Ustadz subhat menyambar-nyambar". Duh...jika begini terus kapan damainya ini? 🙄

Ada seorang laki-laki di zaman Rasulullah, namanya Abdullah, yang tingkahnya sering membuat Rasulullah tertawa. Tapi, lelaki itu memiliki kebiasaan buruk, yaitu suka minum-minuman keras. Ia pernah dihukum dengan pukulan tongkat karena kebiasaan buruknya itu. Suatu ketika, ia di bawa kehadapan Rasulullah karena perbuatan yang sama. Lantas ada yang berkata, "Ya Allah, laknatlah dia!" Mendengar ucapan orang itu Rasulullah pun berkata, "Janganlah kalian melaknatnya! Demi Allah, saya tahu dia sebenarnya masih mencintai Allah dan Rasul-Nya" (HR al-Bukhari no 6780 dari Umar bin Khattab RA).

Perhatikan, orang yang jelas-jelas salah saja, yang tidak ada perbedaan ulama atas keharaman minum minuman keras itu, masih "dibela" oleh Rasulullah untuk tidak tergesa-tergesa melaknatnya.

Lalu, bagaimana sikap kita terhadap saudara kita dan amalan saudara kita yang ulama Ahli Sunnah wal Jamaah saja masih berbeda pendapat bahkan mentolerirnya?

Allahul musta'an...
Ahad, 18 November 2018

Penulis : Lidus Yardi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar