Senin, 03 Desember 2018

PESAN AKSI 212

AKSI damai umat Islam Indonesia pada Jumat 02 Desember 2016 silam, yang populer disebut aksi 212, mendapat simpati dan apresiasi positif dari berbagai kalangan. Aksi 212 merupakan kelanjutan aksi sebelumnya, 4 November 2016 atau disebut aksi 411.

Aksi ini dilakukan umat Islam Indonesia dalam rangka menuntut penegakan hukum secara adil atas penistaan kitab suci Alquran, khususnya surah Al-Maidah ayat 51 yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta nonaktif ketika itu, Basuki Tjahaja Purnama, alias Ahok.

Aksi 212 memang layak disebut sebagai aksi damai, bahkan super damai. Karena aksi yang diperkirakan diikuti lebih dari 5 juta umat Islam yang datang dari berbagai daerah di Indonesia ini, berjalan dengan tertib, sejuk, ramah, dan lancar.

Setelah aksi usai tidak ditemukan sampah berserakan, taman rusak, dan sebatang ranting pun patah. Pada akhirnya, aksi 212 bukan saja soal tuntutan penegakan hukum atas penistaan Alquran, tapi juga telah menjadi syiar umat Islam Indonesia.

Ada beberapa pesan yang dapat kita petik dari aksi 212 yang disebut-sebut level suatu peradaban yang layak menjadi pelajaran, bukan saja  untuk Indonesia tapi juga untuk dunia. Kita kemukakan dua saja. PERTAMA, menguatkan pesan bahwa Islam adalah agama damai dan umatnya mencintai kedamaian.

Tidaklah benar pencitraan Barat selama ini terhadap Islam dan umat Islam yang selalu diidentikkan dengan kekerasan, terutama  dalam menyikapi suatu persoalan untuk mencapai tujuan. Melalui aksi 212 yang dipicu oleh kasus serius yaitu penghinaan terhadap simbol agama Islam berupa kitab suci Alquran, mampu disikapi umat Islam Indonesia dengan cara aman dan konstitusional. Tidak ada pemaksaan kehendak apalagi dengan jalan kekerasan.

Padahal, kejadian serupa berupa penistaan dan pelecehan terhadap simbol-simbol Islam bukan sekali itu saja terjadi. Namun, umat Islam Indonesia selama ini lebih banyak diam dan bersabar. Kasus pelecehan yang dilakukan oleh pejabat publik, memang keterlaluan dan tidak bisa dibiarkan.

Aksi 212 juga mementahkan ijtihad atau kekhawatiran sebagian kelompok kecil dalam Islam yang mengatakan demonstrasi yang ditujukan kepada pemerintahan yang sah hanya mendatangkan mudharat.

Mereka beralasan bahwa demonstrasi tidak membawa efek kebaikan apapun. Mudharatnya lebih banyak. Selalu diiringi dengan kerusakan fasilitas negara. Karena cara terbaik menyelesaikan masalah yang bersangkut paut dengan kebijakan pemerintah adalah menasihati ulil amri (pemimpin) secara diam-diam. Atau, tetap bersabar meskipun ulil amri melakukan kezaliman.

Namun, aksi 212 terbukti dapat dilakukan secara konstitusional, damai, dan dengan cara yang berbeda dari aksi kebanyakan, yaitu dengan berzikir, tausiah, menyampaikan pesan-pesan kebaikan, dan sama-sama berdoa.

Tidak terjadi kekerasan dan kerusakan fasilitas negara seperti yang dikhawatirkan. Justru membawa kesan baik terhadap ulama dan umat Islam Indonesia yang telah mampu menunjukkan sikap teratur, damai, ramah, dan aman. Bahkan aksi 411 sebelumnya telah mengantarkan beberapa orang kafir mendapatkan hidayah Islam.

KEDUA, ulama dan umara mampu menyelesaikan masalah kebangsaan secara bersama. Aksi 212 sebagai bukti bahwa ulama dan umara di negari ini mampu bekerja sama dalam menyikapi persoalan kebangsaan.

Meski pada awalnya, rencana aksi 212 ini terkesan dihalang-halangi oleh pihak kepolisian, namun akhirnya, baik pihak kepolisian, TNI, maupun pihak penyelenggara aksi 212 (GNPF-MUI) dapat mengikuti dan menjalani aksi ini secara bersama-sama. Bahkan secara tak terduga juga diikuti oleh presiden Indonesia dengan sholat Jumat bersama.

Tidak berlebihan rasanya, aksi damai 212 yang diikuti dengan bilangan jutaan umat Islam yang dimotori oleh berbagai tokoh agama seperti ulama, kiyai, dan habib ini mampu menjadi inspirasi dunia. Kita mampu menunjukkan Indonesia adalah negara demokrasi dengan ciri khasnya sendiri.

Kita bisa bandingkan dengan Mesir dan Suriah, negara yang notabenenya disebut sebagai negara Islam ini justru memperlihatkan wajah ironi. Di mana aksi demonstrasi di negara itu disikapi oleh penguasa setempat dengan kekerasan. Tidak sedikit korban nyawa yang jatuh dan konflik terus terjadi hingga saat ini.

Sebab itu, menurut Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, keberhasilan aksi 212 bukan hanya milik umat Islam, melainkan milik bangsa secara keseluruhan (Republika, 3/12/2016).

Ini juga pesan penting kepada pemerintah yang berkuasa saat ini, kepada aparat keamanan dan penegak hukum di negeri ini, bahwa umat Islam Indonesia merupakan bagian terbesar sekaligus solusi bagi bangsa, bukan justru dianggap masalah. Dan para ulama adalah bagian dari sejarah berdirinya bangsa Indonesia yang harus mendapat kedudukan mulia oleh negara (pemerintah).

Aksi 212 yang dilakukan oleh umat Islam dengan para ulama tidak boleh dianggap sebagai potensi perpecahan dan antikebhinekaan. Sebaliknya, justru harus dipahami sebagai bagian dari usaha untuk merawat persatuan dan kebhinekaan itu.

Kita dan umat Islam Indonesia khususnya, tidak memiliki masalah dengan persatuan dan kebhinekaan, Pancasila, atau NKRI, tapi kita sedang memiliki masalah dengan ketidakadilan dalam penegakan hukum.

Di rezim sekarang, justru ketidakadilan dalam penegakan hukum itu, aroma mencurigai dan memusuhi pergerakan Islam, ketidakberpihakan terhadap masyarakat, pembiaran terhadap penistaan agama, begitu kentara terasa. Jangan heran, aksi dan ruh 212 akan terus muncul selama persoalan itu ada. Karena sakralitas aksi 212 adalah keadilan untuk semua, menolak penistaan agama, menjaga Pancasila dari tafsir liberal, dan menjaga hidup bersih yang bermartabat dan penuh adab.

Akhirnya, selamat ber-reuni pejuang atau mujahid 212, semoga membawa berkah untuk kebaikan kita dan bangsa. Allahu Akbar!!
👊
Teluk Kuantan, 01 Desember 2018

Penulis : Lidus Yardi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar